Dunia kembali diguncang dinamika baru setelah Uni Eropa secara resmi mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Keputusan bersejarah ini bukan hanya mencatatkan dukungan diplomatik, tetapi juga membuka babak baru dalam pertarungan geopolitik di Timur Tengah.
Tak lama berselang, mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump—yang selama ini dikenal sebagai sekutu kuat Israel—melontarkan pernyataan mengejutkan. Trump, dalam sebuah wawancara televisi, memberikan kritik tajam kepada Benjamin Netanyahu. Bahkan, ia menyebut Netanyahu telah gagal membaca arah geopolitik dunia dan membuat Israel semakin terisolasi.
Eropa Mengakui Palestina: Awal Gelombang Baru
Langkah Eropa diakui sebagai titik balik. Negara-negara besar seperti Prancis, Spanyol, dan Italia kini berada di garda depan pengakuan tersebut. Ribuan warga Palestina turun ke jalan merayakan momen ini, sementara di Israel, perasaan terisolasi semakin nyata.
Para pengamat menilai, keputusan Eropa bukan sekadar dukungan simbolik, melainkan strategi untuk menekan Israel agar menghentikan kebijakan agresif di Gaza dan Tepi Barat.
Trump Menyerang Netanyahu
Pernyataan Trump dianggap sebagai “pukulan telak” terhadap Netanyahu. Trump menuding Netanyahu tidak lagi mampu menjaga hubungan internasional dan membuat Israel kehilangan simpati global. Bahkan, Trump mengisyaratkan bahwa jika ia kembali berkuasa, kebijakan Amerika terhadap Israel mungkin tidak akan sama seperti sebelumnya.
Bagi banyak pihak, komentar ini mengejutkan, mengingat Trump sebelumnya dikenal sebagai tokoh yang memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem pada 2018—sebuah langkah yang kala itu dianggap hadiah politik bagi Netanyahu.
Mesir: Kunci yang Tersembunyi
Di tengah ketegangan ini, Mesir muncul sebagai pemain kunci. Letaknya yang strategis, perannya sebagai mediator dalam konflik Gaza, dan posisinya sebagai sekutu penting Barat membuat Mesir kini berada di pusat perhatian.
Kairo disebut-sebut tengah mengajukan inisiatif baru: mendorong Israel untuk menerima gencatan senjata permanen, dengan imbalan normalisasi hubungan ekonomi yang lebih luas dengan negara-negara Arab. Namun, posisi ini juga memberi tekanan besar pada Netanyahu, yang menghadapi gelombang oposisi di dalam negeri.
Israel Kian Terpojok
Dengan Eropa yang kini berpihak pada Palestina, kritik dari Trump, dan tekanan diplomatik Mesir, Israel menghadapi masa depan yang semakin sulit. Media Israel bahkan menggambarkan situasi ini sebagai “triple pressure”—tekanan dari luar, dalam, dan sekutu lamanya.
Warga Tel Aviv dilaporkan resah, terutama setelah gelombang protes domestik semakin sering terjadi. Beberapa analis menyebut bahwa Netanyahu kini berada di salah satu titik terlemah sepanjang karier politiknya.
Masa Depan Timur Tengah
Pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah langkah Eropa dan tekanan Trump ini akan membuka jalan bagi perdamaian yang lebih nyata, atau justru memicu Israel untuk mengambil langkah militer yang lebih agresif?
Mesir, sebagai kunci diplomasi, kini dituntut memainkan perannya secara hati-hati. Kesalahan langkah bisa membuat konflik semakin membara, tetapi keberhasilan bisa mengantarkan kawasan menuju titik balik sejarah.
Satu hal yang jelas, pengakuan Eropa terhadap Palestina telah mengubah peta kekuatan di Timur Tengah, dan Netanyahu kini menghadapi badai politik paling besar sepanjang pemerintahannya.