Ketegangan geopolitik global kembali meningkat tajam.
Tiongkok secara resmi bergabung dengan Rusia dalam mendukung Iran, menentang sanksi Barat yang diberlakukan ulang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Langkah ini memperkuat poros strategis Moskow–Beijing–Teheran, tepat ketika Amerika Serikat mengancam akan memberlakukan tarif hingga 100 persen terhadap ekspor Tiongkok.
Dalam surat bersama yang dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB, ketiga negara itu mengumumkan penghentian efektif Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2231 — resolusi yang menjadi dasar perjanjian nuklir JCPOA tahun 2015.
Menurut Rusia dan Tiongkok, resolusi tersebut telah “berakhir secara alami” berdasarkan hukum internasional, sehingga sanksi terhadap Iran dianggap tidak lagi sah.
Namun, Amerika Serikat dan sekutunya menilai langkah ini sebagai bentuk pembangkangan yang berpotensi memperburuk ketegangan di Timur Tengah.
Washington menuduh Teheran melanggar batasan program nuklirnya, sementara Beijing dan Moskow menuduh Barat menggunakan isu non-proliferasi sebagai alat politik.
Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump memperingatkan kemungkinan eskalasi ekonomi dengan Tiongkok, termasuk penerapan tarif besar-besaran terhadap produk Tiongkok dan pembatasan ekspor mineral tanah jarang — bahan penting untuk industri teknologi tinggi.
Langkah ini memperlihatkan bagaimana diplomasi nuklir kini beririsan langsung dengan perang dagang global.
Ketegangan antara AS dan Tiongkok bukan lagi sekadar soal tarif atau perdagangan, melainkan perebutan kendali geopolitik dunia.
Dengan Iran sebagai sekutu strategis di Timur Tengah, Beijing dan Moskow semakin memperluas pengaruhnya dalam menghadapi dominasi Barat.
Para analis memperingatkan, kebuntuan ini bisa mengancam masa depan upaya non-proliferasi nuklir global.
Jika resolusi PBB tak lagi dihormati, dunia berpotensi kembali ke era ketidakpastian, di mana kekuatan besar menentukan hukum berdasarkan kepentingan masing-masing.
Sementara itu, hubungan Washington dan Beijing kian menegang — dari perdagangan, teknologi, hingga diplomasi nuklir — menjadikan konflik ini bukan sekadar perebutan ekonomi, tapi juga pertarungan ideologi dan kekuasaan global yang menentukan arah abad ke-21.