Ketegangan global kembali meningkat. Dunia kini menyoroti bagaimana kekuatan nuklir China—yang dijuluki “naga nuklir”—semakin menunjukkan taringnya di darat, laut, dan udara. Amerika Serikat, yang selama puluhan tahun mengklaim sebagai penguasa tunggal dalam kekuatan militer global, kini dihadapkan pada ancaman nyata dari Beijing. Pertanyaannya, mampukah Amerika Serikat benar-benar mematahkan taring naga yang bangkit ini?
China dalam beberapa tahun terakhir gencar memperkuat persenjataan nuklirnya. Data terbaru menunjukkan bahwa Beijing tidak hanya memperluas jumlah hulu ledak, tetapi juga meningkatkan kualitas dan jangkauan sistem peluncurannya. Dari rudal balistik antarbenua yang ditempatkan di silo bawah tanah, hingga kapal selam bertenaga nuklir yang berpatroli di lautan, dan jet tempur generasi kelima yang mampu membawa senjata nuklir—China kini memiliki kekuatan nuklir yang berlapis di semua dimensi.
Di darat, China memiliki rudal balistik antarbenua tipe DF-41 yang mampu menjangkau seluruh daratan Amerika Serikat hanya dalam hitungan menit. Rudal ini disebut dapat membawa beberapa hulu ledak sekaligus, menjadikannya salah satu ancaman paling serius bagi keamanan Washington.
Di laut, armada kapal selam nuklir kelas Jin dan Tang terus berpatroli secara diam-diam di Samudra Pasifik. Kapal selam ini mampu meluncurkan rudal JL-3 dengan jangkauan lebih dari 10.000 kilometer. Hal ini berarti bahkan dari perairan dekat China, mereka bisa mengincar target di pantai barat Amerika tanpa perlu bergerak terlalu jauh.
Di udara, Beijing mengembangkan pembom strategis H-20, yang digadang-gadang sebagai tandingan B-2 Spirit milik Amerika. Pesawat ini diduga mampu membawa senjata nuklir dan dirancang dengan teknologi siluman, sehingga sulit terdeteksi radar. Kehadiran pesawat ini akan memperluas jangkauan kekuatan udara China hingga ke benua lain.
Amerika Serikat tentu tidak tinggal diam. Pentagon mempercepat modernisasi persenjataan nuklirnya, termasuk penggantian rudal Minuteman III yang sudah tua, serta memperluas armada kapal selam kelas Columbia. Washington juga semakin mempererat aliansinya dengan Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan Australia untuk menahan laju pengaruh China di Indo-Pasifik.
Namun, banyak analis menilai bahwa keseimbangan kekuatan global telah bergeser. Jika dulu Amerika selalu memiliki keunggulan mutlak, kini China berhasil mempersempit jurang tersebut. Bagi Washington, ancaman bukan hanya soal jumlah senjata, melainkan juga kredibilitas dalam menjaga dominasi globalnya.
Ketegangan semakin nyata di Laut China Selatan dan Selat Taiwan. Latihan militer gabungan, patroli kapal perang, hingga uji coba rudal menjadi tontonan sehari-hari yang membuat kawasan ini seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Pertanyaan terbesar: jika konflik pecah, apakah Amerika siap menghadapi naga nuklir yang sudah mengepung mereka dari darat, laut, dan udara?
Bagi banyak pihak, jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah geopolitik abad ke-21. Jika Amerika berhasil menahan laju China, dominasi globalnya bisa tetap bertahan. Tetapi jika gagal, maka dunia mungkin akan menyaksikan lahirnya poros kekuatan baru dengan Beijing sebagai pemimpin.
Satu hal yang pasti: dunia kini lebih dekat pada risiko konfrontasi nuklir dibandingkan dekade sebelumnya. Semua pihak menunggu langkah berikutnya dari Washington. Apakah mereka berani mematahkan taring naga nuklir China, atau justru terjebak dalam bayangan kekuatan baru yang sedang bangkit?