21 September 2025 — Dunia kembali terkejut dengan rangkaian peristiwa dramatis yang terjadi di Timur Tengah. Israel, negara yang selama ini mengandalkan keunggulan militer dan teknologi pertahanan canggih, kini tengah berada dalam masa-masa tersulitnya. Serangan rudal Yaman ke Tel Aviv menandai babak baru dalam konflik regional, menciptakan keadaan darurat besar di jantung Israel, dan memunculkan kebingungan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Tel Aviv maupun Teheran.
Rudal Yaman Bakar Tel Aviv
Pada Sabtu, 20 September 2025, langit Tel Aviv berubah menjadi arena ledakan besar ketika rudal jelajah yang diluncurkan dari Yaman berhasil menembus pertahanan Iron Dome dan sistem Arrow yang selama ini dianggap tak tertembus. Sejumlah menara komersial dan gedung pencakar langit dilaporkan rusak berat. Api membubung tinggi ke udara, sementara ribuan warga sipil berlarian menuju bunker dan tempat perlindungan.
Media lokal Israel menggambarkan suasana mencekam: sirene meraung tanpa henti, kepulan asap hitam membungkus sebagian kota, dan lalu lintas berhenti total. Kejadian ini menjadi pukulan telak bagi Israel, yang selama bertahun-tahun mengandalkan sistem pertahanan udara sebagai benteng terakhir melawan ancaman rudal.
Netanyahu dan Pendaratan Darurat
Di tengah kekacauan tersebut, kabar mengejutkan muncul: pesawat yang membawa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, terpaksa melakukan pendaratan darurat setelah radar mendeteksi ancaman rudal yang mengarah ke jalur penerbangan. Meski akhirnya Netanyahu selamat, insiden itu menorehkan luka diplomatik dan politik mendalam.
Bagi banyak pengamat, momen ini menggambarkan rapuhnya keamanan Israel. Jika pemimpin tertinggi negara pun harus menghadapi bahaya langsung dari rudal musuh, maka pesan yang tersampaikan jelas: Israel tidak lagi kebal terhadap serangan lintas kawasan.
Krisis Nasional
Pemerintah Israel segera mengumumkan keadaan darurat di Tel Aviv dan beberapa wilayah lainnya. Pasukan pertahanan Israel (IDF) dikerahkan secara besar-besaran, sementara warga diminta tetap berada di lokasi perlindungan. Bandara Ben Gurion sempat ditutup untuk waktu yang lama, memutus akses utama penerbangan internasional.
Namun di balik semua itu, tekanan psikologis pada warga sipil terlihat jelas. Warga Tel Aviv menggambarkan malam itu sebagai “neraka di bumi.” Banyak keluarga terjebak di apartemen tanpa listrik, anak-anak menangis ketakutan, dan rumah sakit kewalahan menerima korban luka-luka akibat runtuhan bangunan.
Pakistan Menantang Israel
Krisis ini tidak hanya berdampak di dalam negeri Israel. Di panggung internasional, Pakistan muncul dengan pernyataan keras. Islamabad secara terbuka menantang Israel dalam forum internasional, memperingatkan bahwa agresi Israel yang terus berlanjut hanya akan memicu eskalasi lebih besar di kawasan.
Bagi Israel, tantangan dari Pakistan adalah ancaman baru. Selama ini, hubungan kedua negara memang tidak pernah normal, namun keterlibatan Pakistan dalam retorika anti-Israel menandakan kemungkinan terbentuknya front diplomatik dan militer yang lebih luas, di mana Israel semakin terkucil.
Kebingungan di Teheran dan Tel Aviv
Sementara Israel terkejut dengan rudal Yaman, Teheran juga berada dalam pusaran kebingungan. Di satu sisi, Iran mendukung kelompok perlawanan di kawasan, termasuk di Yaman. Namun di sisi lain, serangan besar-besaran ini bisa menyeret Iran lebih jauh ke dalam konflik terbuka.
Di Tel Aviv, pemerintah menghadapi dilema serupa. Serangan balasan tentu menjadi opsi, tetapi risiko membuka front perang baru dengan Yaman—ditambah dengan tekanan internasional—membuat langkah itu tidak sederhana. Kebingungan politik dan militer ini menjadi bukti bahwa situasi kini sudah keluar dari kendali.
Ancaman Mesir di Depan Mata
Tak hanya Yaman dan Iran, kini muncul kekhawatiran baru: konfrontasi dengan Mesir. Seorang mantan komandan militer Israel memperingatkan bahwa pendudukan Gaza yang terus berlanjut dapat memicu perang terbuka dengan Kairo. Mesir, yang selama ini menjaga hubungan dingin namun stabil dengan Israel, bisa saja berubah haluan jika situasi semakin memburuk.
Jika peringatan itu benar, maka Israel berpotensi menghadapi serangan dari tiga arah sekaligus: Gaza di barat daya, Yaman dari selatan, dan kemungkinan Mesir dari perbatasan barat.
Gelombang Boikot Semakin Besar
Selain tekanan militer, Israel kini dihantam gelombang boikot global. Produk-produk Israel ditolak di berbagai negara, investasi asing menurun drastis, dan sektor pariwisata lumpuh total. Beberapa laporan menyebutkan bahwa boikot ini adalah yang terbesar sejak perang Arab-Israel pada tahun 1973.
Efek ekonomi dari boikot ini menambah beban besar bagi rakyat Israel, yang sudah terhimpit oleh ketakutan perang dan kerusakan infrastruktur akibat rudal.
Reaksi Dunia
Amerika Serikat langsung menyatakan dukungan penuh kepada Israel, namun pada saat yang sama menghadapi kritik dari negara-negara Asia dan Timur Tengah. Rusia menyerukan de-eskalasi, sementara Tiongkok memperingatkan bahwa konflik ini bisa memicu “kebakaran besar” di seluruh kawasan.
Di Eropa, negara-negara seperti Prancis dan Jerman mendesak penghentian serangan, namun kecaman publik di jalan-jalan justru semakin membesar terhadap Israel.
Masa Depan Israel di Persimpangan
Serangan rudal Yaman ke Tel Aviv, pendaratan darurat Netanyahu, tantangan Pakistan, hingga peringatan konfrontasi dengan Mesir—semua ini menandai bahwa Israel kini berada di titik paling genting dalam sejarah modernnya.
Krisis ini bukan hanya soal pertahanan, tetapi juga soal legitimasi, politik, dan masa depan keberlangsungan Israel di kawasan yang semakin memanas.
Pertanyaan besar kini menggantung di udara: apakah Israel mampu keluar dari badai ini, atau justru terseret lebih jauh ke dalam jurang konflik yang tak berkesudahan? Dunia menunggu, dengan cemas, apa yang akan terjadi selanjutnya.