Hari ini, kawasan Timur Tengah kembali diguncang peristiwa besar yang mengubah arah konflik regional. Untuk pertama kalinya, sebuah rudal jelajah yang diluncurkan dari Yaman berhasil menembus sistem pertahanan udara canggih Israel, Iron Dome, dan mencapai jantung Tel Aviv. Serangan ini digambarkan para analis sebagai pelanggaran militer yang belum pernah terjadi sebelumnya—sebuah titik balik yang berpotensi memperluas medan perang di luar batas Gaza.
Serangan rudal ini datang di tengah eskalasi panjang konflik antara Israel dan poros perlawanan. Biasanya, Iron Dome dianggap sebagai tameng utama yang mampu menangkis sebagian besar roket dan rudal yang ditembakkan ke wilayah Israel. Namun malam ini, publik dunia dikejutkan ketika sirene peringatan di Tel Aviv meraung tanpa henti, disusul ledakan dahsyat yang menggetarkan bangunan dan membuat warga berlarian mencari perlindungan.
Sumber militer Yaman mengklaim bahwa rudal yang digunakan adalah varian terbaru dari persenjataan jelajah jarak jauh buatan lokal yang dikembangkan dengan bantuan teknologi sekutu mereka di kawasan. Rudal tersebut disebut mampu bermanuver rendah, menghindari radar, dan menghantam target dengan presisi tinggi. Fakta bahwa rudal ini berhasil menembus Iron Dome memunculkan pertanyaan besar: seberapa rapuhkah pertahanan udara Israel yang selama ini digadang sebagai salah satu yang terkuat di dunia?
Di Tel Aviv, saksi mata menggambarkan suasana penuh kepanikan. Ledakan menimbulkan kebakaran di sebuah kawasan industri strategis. Layanan darurat dikerahkan dalam jumlah besar, sementara pihak berwenang menginstruksikan warga untuk tetap berada di dalam bunker perlindungan. Hingga kini, laporan resmi mengenai jumlah korban masih simpang siur, namun media lokal menyebut ada korban luka akibat serpihan dan runtuhan bangunan.
Reaksi pemerintah Israel datang cepat. Perdana Menteri segera menggelar rapat darurat kabinet keamanan, mengancam akan melancarkan serangan balasan berskala besar terhadap Yaman. “Israel tidak akan tinggal diam menghadapi serangan pengecut semacam ini. Setiap musuh yang mencoba melanggar kedaulatan kami akan menanggung akibatnya,” ujar salah satu pejabat senior Israel dalam konferensi pers singkat.
Sementara itu, di Sanaa, kelompok Houthi—yang memimpin operasi militer melawan koalisi pimpinan Saudi dan kerap melontarkan ancaman terhadap Israel—menyatakan bahwa serangan ini adalah “peringatan awal”. Mereka menegaskan, selama agresi Israel ke Gaza berlanjut, mereka tidak akan segan menargetkan infrastruktur vital di Tel Aviv, Haifa, bahkan pelabuhan-pelabuhan strategis Israel.
Respon internasional pun tak kalah tegas. Amerika Serikat menyatakan dukungan penuh kepada Israel, dan kemungkinan akan mempercepat pengiriman sistem pertahanan tambahan, termasuk Patriot dan THAAD. Namun, negara-negara di kawasan justru menilai serangan ini sebagai bukti kegagalan Israel dalam menghentikan eskalasi perang yang semakin meluas. Beberapa analis menyebut bahwa keikutsertaan Yaman dalam menyerang langsung Tel Aviv menandai babak baru dalam konflik: poros perlawanan kini bertindak sebagai satu kesatuan, dari Gaza, Lebanon, Suriah, hingga Yaman.
Bagi warga sipil, peristiwa ini menjadi mimpi buruk yang semakin memperdalam ketakutan. Di Tel Aviv, banyak keluarga mengaku tak lagi percaya pada efektivitas sirene dan bunker perlindungan. “Jika rudal bisa menembus Iron Dome, berarti kami semua benar-benar dalam bahaya,” ujar seorang warga yang menyaksikan ledakan dari apartemennya.
Para pengamat menilai bahwa insiden ini bisa menjadi titik awal pergeseran keseimbangan kekuatan. Selama bertahun-tahun, Israel mengandalkan Iron Dome sebagai simbol keamanan nasionalnya. Kini, fakta bahwa sistem tersebut bisa ditembus mengirimkan sinyal kepada dunia bahwa era dominasi militer Israel di kawasan mulai goyah.
Apakah Israel akan meningkatkan serangan balasan dan menyeret Yaman sepenuhnya ke dalam konflik? Ataukah serangan ini justru menjadi pemicu bagi gencatan senjata yang lebih luas? Jawaban atas pertanyaan itu masih menggantung di udara. Namun yang jelas, malam ini dunia menyaksikan bagaimana sebuah rudal jelajah dari Yaman mengubah peta perang Timur Tengah.