Di meja-meja diplomasi Timur Tengah, sebuah mantra baru mulai berbisik — bukan lagi sekadar retorika panjang, melainkan strategi yang mengguncang fondasi stabilitas regional: jika kau tidak memiliki nuklir, belilah dari yang memilikinya. Sebuah konsep yang sederhana namun berbahaya: memaksa negara-negara tanpa senjata pemusnah massal untuk mengaksesnya melalui pasar, aliansi, atau kesepakatan gelap.
Apa arti manuver ini bagi keamanan regional? Dan bagaimana langkah ini bisa menjadi alat tekanan untuk “mencekik” Israel — negara yang selama ini dipandang sebagai kekuatan nuklir de facto di kawasan? Dalam tulisan ini, kita menyisir latar, motif, risiko, dan kemungkinan konsekuensi dari permainan baru yang berpotensi mengguncang dunia.
Latar Sejarah yang Memicu Ketakutan
Kita mulai dari dasar: ketakutan dan ketidaksetaraan strategis mendorong negara untuk mencari penyeimbang. Dalam sejarah modern, deklarasi atau ancaman proliferasi timbal balik bukan hal baru; pernyataan seperti “kalau tetanggamu punya, kami juga akan cari cara” kerap muncul ketika keseimbangan kekuatan dirasa timpang. Ketika satu aktor memiliki kemampuan yang menyentuh ranah eksistensial lawan, tekanan untuk mengejar kemampuan pembalasan menjadi nyata — atau setidaknya menjadi ancaman strategis yang bisa digunakan sebagai bargaining chip.
Konsep “membeli nuklir dari yang memilikinya” menandai pergeseran: dari upaya domestik (mengembangkan sendiri) ke opsi luar-biasa—akuisi lewat pihak ketiga, alih teknologi, atau perjanjian bawah meja. Jika itu terjadi, kompleksitas aliansi, sanksi internasional, dan risiko eskalasi meningkat secara eksponensial.....